PENYEDIAAN PANGAN YANG AMAN DAN BERKELANJUTAN GUNA MENDUKUNG TERCAPAINYA KETAHANAN PANGAN

 BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Berdasarkan Undang-Undang tentang Pangan yang telah disahkan melalui sidang pleno Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 18 Oktober 2012, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan peternakan, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan pembuatan makanan dan minuman.
Dipersyaratkan oleh UU No 18/2012 tersebut juga bahwa dalam rangka mencapai ke-tahanan pangan tersebut, negara harus (i) mandiri; yaitu mampu dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan ke¬butuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan po- tensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermarta¬bat, dan (ii) berdaulat; yaitu mampu menentukan kebijakan pangannya secara mandiri, tidak didikte oleh pihak mana pun, dan para pelaku usaha pangan mempunyai kebe¬basan untuk menetapkan dan melaksanakan usahanya sesuai dengan sumber daya yang dimilikinya.
Istilah keberlanjutan dalam konteks pertanian pada dasarnya berarti kemampuan untuk tetap produktif sekaligus tetap mempertahankan basis sumberdayanya (TAC/CGIAR 1988 dalam Reijntjes, Haverkort dan Waters-Bayer, 1999). Lebih lanjut disebutkan bahwa pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang terus-menerus berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam.
Disamping itu, untuk meningkatkan ketahanan pangan dilakukan diversifikasi pangan dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal melalui peningkatan teknologi pengolahan dan produk pangan dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi anekaragam pangan dengan gizi seimbang.
PP Ketahanan Pangan juga menggarisbawahi untuk mewujudkan ketahanan pangan dilakukan pengembangan sumber daya manusia yang meliputi pendidikan dan pelatihan di bidang pangan, penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan dan penyuluhan di bidang pangan. Di samping itu, kerjasama internasional juga dilakukan dalam bidang produksi, perdagangan dan distribusi pangan, cadangan pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan serta riset dan teknologi pangan.
Untuk mencapai manusia Indonesia yang berkualitas, sangat berkaitan erat dengan faktor pangan dan gizi. Pemenuhan kecukupan pangan dan gizi dapat tercermin dari tingkat pencapaian pangan yang disediakan dan yang dikonsumsi terhadap jumlah pangan dan gizi yang tersedia, mutu maupun keragamannya. Hal ini sesuai dengan arah kebijakan mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan dan budaya lokal dalam rangka menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan pada tingkat harga yang terjangkau dengan memperhatikan peningkatan pendapatan masyarakat, serta peningkatan produksi yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu perlu adanya upaya-upaya dalam rangka menangani masalah pangan dan gizi dengan penganekaragaman penyediaan dan kon-sumsi pangan, peningkatan mutu dan gizi, stabilitas harga dan pemerataan distribusi-nya serta mengurangi ketergantungan penyediaan bahan pangan hanya pada beras.
I.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan permasalahan yang dapat diambil adalah :
1. Bagaimana Kebijakan dan Program Pembangunan Pangan?
2. Mengapa upaya meningkatkan ketahanan pangan mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar?
3. Apa saja indikasi kesalahan penerapan pembangunan pertanian dan atau perdesaan?
4. Bagaimana pertanian dikatakan pertanian berkelanjutan secara lebih luas?

I.3. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui tentang Kebijakan dan Program Pembangunan Pangan.
2. Mengetahui tentang upaya meningkatkan ketahanan pangan mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar.
3. Mengetahui tentang indikasi kesalahan penerapan pembangunan pertanian dan atau perdesaan.
4. Mengetahui tentang pertanian dikatakan pertanian berkelanjutan secara lebih luas.

BAB II.
TINJAUAN LITERATUR

Dari jurnal yang saya sudah baca akan menjadi dasar dan bahan informasi yang akan saya bahas dalam paper ini.
Ketahanan pangan terwujud apabila secara umum telah terpenuhi dua aspek sekaligus.
Pertama adalah tersedianya pangan yang cukup dan merata untuk seluruh penduduk. Kedua, setiap penduduk mempunyai akses fisik dan ekonomi terhadap pangan untuk memenuhi kecukupan gizi guna menjalani kehidupan yang sehat dan produktif dari hari ke hari.
Ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga merupakan landasan bagi ketahanan pangan masyarakat, yang selanjutnya menjadi pilar bagi ketahanan pangan daerah dan nasional. Berdasarkan pemahaman tersebut maka salah satu prioritas utama pembangunan ketahanan pangan adalah memberdayakan masyarakat agar mereka mampu menanggulangi masalah pangannya secara mandiri serta mewujudkan ketahanan pangan rumahtangganya secara berkelanjutan.
Pada perkembangan awal, ketahanan pangan diartikan menjamin seluruh orang pada setiap waktu terhadap akses pangan dan akses secara ekonomi untuk mendapatkan kebutuhan
pangan yang mereka perlukan. Kemudian terdapat perubahan yang membedakan ketersediaan
dengan akses, pada akhirnya konsep berkembang dengan memperhatikan faktor lain, seperti nilaigizi, aspek sosial dan latar belakang budaya (ESCAP, 2009:20).
Ketahanan pangan (food security) para ahli sepakat bahwa ketahanan pangan minimal mengandung dua unsur pokok yaitu ‘ ketersediaan pangan’ dan ‘aksesibilitas masyarakat’ terhadap bahan pangan tersebut. Salah satu dari unsur di atas tidak terpenuhi, maka suatu negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional dan regional tetapi jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan rapuh.
Ada tiga pilar yang mendukung bangunan ketahanan pangan. Pertama, ialah ketersediaan pangan sebanyak yang diperlukan oleh masyarakat yang mencakup kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari produksi, cadangan maupun impor dan ekspor. Kedua, ialah distribusi yang mencakup aksesabilitas pangan antar wilayah dan antar waktu serta stabilitas harga pangan strategis. Ketiga, ialah konsumsi yang mencakup jumlah, mutu gizi/nutrisi, keamanan dan keanekaragaman konsumsi pangan (Suparmo dalam Usman,2004:66).
Dari definisi tersebut, untuk keperluan praktis dan implementasi kebijakan serta program, dapat diidentifikasikan penjabarannya sebagai berikut (Suryana 2001a, 2001b, 2003a; Dewan Ketahanan Pangan 2006; dalam Suryana, 2008:3-4).
1. Pada tataran kebijakan nasional: (a) pemenuhan pangan yang cukup bagi seluruh penduduk dari hasil produksi sendiri merupakan kebijakan pokok ekonomi pangan nasional; (b) kebijakan penyediaan pangan dari hasil produksi sendiri diperoleh dengan memanfaatkan, melestarikan, dan meningkatkan kapasitas sumber daya secara optimal; dan (c) kebijakan pemerataan pangan antar waktu, antar wilayah, dan antarkelas pendapatan yang ditangani melalui pengelolaan cadangan pangan, distribusi dan harga pangan.
2. Pada tataran rumah tangga: (a) unit pokok kelompok sasaran ketahanan pangan adalah individu-individu dalam suatu rumah tangga; (b) tolok ukur pencapaian ketahanan pangan adalah terjaminnya aksesibilitas fisik dan ekonomi atas pangan; (c) ketersediaan pangan pada tingkat rumah tangga tersebut harus dapat menjamin agar setiap anggota rumah tangga memperoleh pangan dengan jumlah yang cukup untuk hidup sehat dan produktif.
3. Pada tataran komoditas: (a) karateristik pangan yang dikonsumsi diarahkan agar memiliki mutu gizi yang baik untuk kesehatan dan aman (safety), serta halal bagi warga muslim; dan (b) walaupun jenis pangan itu beragam dan sangat banyak, yang menjadi titik perhatian untuk ditangani melalui intervensi pemerintah terbatas/dibatasi pada beberapa pangan pokok.

Persoalan pangan dewasa ini dipicu oleh melejitnya harga-harga pangan dunia secara tajam. Fenomena global ini tak terelakkan akibat beberapa faktor penyebab. Yang pasti, meroketnya harga minyak dunia menyebabkan biaya produksi semua produk, termasuk komoditas pertanian melonjak. Berikutnya, pesatnya perekonomian China dan India disinyalir signifikan berdampak pada meningkatnya permintaan produk, baik untuk konsumsi maupun industri. Satu lagi, trend dunia yang mulai mengkonversi hasil-hasil pertanian menjadi biofuel (energi asal nabati), sebagai energi alternatif pengganti bahan bakar fosil, membuat banyak pihak berlomba-lomba mengembangkan biofuel. Akibatnya, terjadi perebutan peruntukan produk pertanian yang banyak diistilahkan dengan 3F (food, feed, or fuel), dan bahaya yang lebih merisaukan bakal mengancam, yaitu kelangkaan pangan dan kelaparan. Di sisi lain, efek pemanasan global menimbulkan dua sisi ekstrim dari perubahan iklim. Di belahan bumi yang satu terjadi curah hujan berlebih, banjir dan badai memporak-porandakan lahan pertanian dan peternakan serta mengubah pola tanam. Sementara di belahan bumi yang lain terjadi kekeringan dan krisis air yang menyebabkan kematian tanaman dan ternak, sehingga terjadi penurunan produksi (Trobos, 2008).
Ketergantungan pangan dari impor dan ketidakmampuan suatu bangsa mencapai kemandirian pangan akan menyebabkan ketahanan nasional terganggu. Secara umum, Indonesia masih merupakan negara importir pangan. Fakta menunjukkan bahwa saat ini kita kembali menjadi importir pangan, walaupun pada era Orde Baru setelah tahun 1984 berhasil mencapai swasembada beras, namun pada tahun 1998 kembali mengalami krisis pangan. Impor beras bahkan pernah mencapai puncaknya pada tahun 1998 sebesar 5,8 juta ton, dan 4 juta ton pada tahun 1999 yang membuat Indonesia menjadi importir beras terbesar di dunia. Indonesia juga masih rutin menjadi importir gula dengan tingkat ketergantungan pada impor mencapai 30% dan pernah menjadi nomor dua importir terbesar di dunia setelah Rusia. Padahal kita pernah menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia pada tahun 1930-an (Sibuea, 2008).
Ketahanan pangan pada tingkat nasional diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak dan aman, yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya lokal. Dari pengertian tersebut, idealnya kemampuan dalam menyediakan pangan bersumber dari dalam negeri sendiri. Sedangkan impor pangan dilakukan sebagai alternatif terakhir untuk mengisi kesenjangan antara produksi dan kebutuhan pangan dalam negeri, serta diatur sedemikian rupa agar tidak merugikan kepentingan para produsen pangan di dalam negeri yang mayoritas petani berskala kecil, juga kepentingan konsumen khususnya kelompok miskin (Pasal 3 ayat (4), PP. No. 68/2002).
Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional, dapat ditempuh melalui beberapa cara. Penganekaragaman (diversifikasi) pangan merupakan salah satu pilar utama dalam upaya mengatasi msalah pangan dan gizi yang pada akhirnya dapat mewujudkan ketahanan pangan nasional. Widyakarya pangan dan gizi tahun 1998 menyebutkan pengertian tentang diversifikasi pangan sebagai berikut :
1. Diversifikasi pangan dalam rangka pemantapan produksi padi. Hal ini dimaksudkan agar laju peningkatan konsumsi beras dapat dikendalikan, setidaknya seimbang dengan kemampuan peningkatan produksi beras.
2. Diversifikasi pangan dalam rangka memperbaiki mutu gizi makanan penduduk sehari-hari agar lebih beragam dan seimbang.

Upaya penganekaragaman atau diversifikasi konsumsi pangan walaupun sudah dirintis sejak dasawarsa 60-an, namun hingga saat ini masih belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Pola pangan lokal seperti ditinggalkan, berubah ke pola beras dan pola mie. Penelitian Rahman (2001) menunjukkan adanya perubahan pola konsumsi pangan pokok yang cenderung mengarah ke pola tunggal beras dari semula pola beras-umbi-umbian, dan atau beras-jagung-umbi.
Dari sisi kualitas, rata-rata kualitas konsumsi pangan penduduk Indonesia juga masih rendah, kurang beragam, masih didominasi pangan sumber karbohidrat terutama dari padi-padian. Konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia sangat tergantung pada beras dengan tingkat partisipasi rata-rata hampir mencapai 100% kecuali untuk Maluku dan Papua (yang dikenal sebagai wilayah ekologi sagu), berkisar 80%.
Keragaan di atas menunjukkan bahwa laju pertumbuhan produksi pangan nasional rata-rata negatif dan cenderung menurun, sedangkan laju pertumbuhan penduduk selalu positif yang berarti kebutuhan terus meningkat. Keragaan total produksi dan kebutuhan nasional dari tahun ke tahun pada ketiga komoditas pangan utama di atas menunjukkan kesenjangan yang terus melebar; khusus pada kedelai sangat memprihatinkan. Kesenjangan yang terus meningkat ini jika terus di biarkan konsekwensinya adalah peningkatan jumlah impor bahan pangan yang semakin besar, dan kita semakin tergantung pada negara asing.
Impor beras yang meningkat pesat terjadi pada tahun 1996 dan puncaknya pada tahun 1998 yang mencapai 5,8 juta ton. Kondisi ini mewarnai krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 dimana produksi beras nasional turun yang antara lain karena kekeringan panjang.
Pada komoditi jagung meskipun pada tahun 1996 terjadi penurunan produksi, namun pada tahun 1998 justru terjadi surplus (ekspor) meskipun hanya kecil. Hal ini diduga karena banyak masyarakat yang memanfaatkan lahan tidur untuk komoditas jagung. Namun pada tahun-tahun berikutnya sampai saat ini produksi jagung cenderung turun dan impor semakin besar (lebih dari 2 juta ton/tahun).
Produksi kedelai nasional tampak mengalami kemunduran yang sangat memprihatinkan. Sejak tahun 2000, kondisi tersebut semakin parah, dimana impor kedelai semakin besar. Hal ini terjadi antara lain karena membanjirnya Impor akibat fasilitas GSM 102, kredit Impor dan “Triple C” dari negara importir yang dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh importir kedelai Indonesia, disisi lain produktivitas kedelai nasional yang rendah dan biaya produksi semakin tinggi di dalam negeri. Akibat kebijakan di atas harga kedelai impor semakin rendah sehingga petani kedelai semakin terpuruk dan enggan untuk menanam kedelai. Dampaknya pada harga kedelai petani tidak bisa bersaing dengan membanjirnya kedelai Impor dan petani kedelai tidak terlindungi.
Melihat kenyataan tersebut seakan kita tidak percaya sebagai negara agraris yang mengandalkan pertanian sebagai tumpuan kehidupan bagi sebagian besar penduduknya tetapi pengimpor pangan yang cukup besar. Hal ini akan menjadi hambatan dalam pembangunan dan menjadi tantangan yang lebih besar dalam mewujudkan kemandirian pangan bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu diperlukan langkah kerja yang serius untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.

Permasalahan Produksi Dan Upaya Mengatasi Masalah Pangan Nasional
Rendahnya laju peningkatan produksi pangan dan terus menurunnya produksi di Indonesia antara lain disebabkan oleh: (1) Produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun; (2) Peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa. Kombinasi kedua faktor di atas memastikan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun yang cenderung terus menurun. Untuk mengatasi dua permasalahan teknis yang mendasar tersebut perlu dilakukan upaya-upaya khusus dalam pembangunan pertanian pangan khususnya dalam kerangka program ketahanan pangan nasional.
Untuk mengatasi permasalahan di atas pemerintah harus memberikan subsidi teknologi kepada petani dan melibatkan stakeholder dalam melakukan percepatan perubahan (Saragih, 2003). Subsidi teknologi yang dimaksud adalah adanya modal bagi petani untuk memperoleh atau dapat membeli teknologi produktivitas dan pengawalannya sehingga teknologi budidaya dapat dikuasai secara utuh dan efisien sampai tahap pasca panennya. Sebagai contoh petani dapat memperoleh dan penerapan teknologi produktivitas organik hayati (misal : Bio P 2000 Z), benih/pupuk bermutu dan mekanisasi pasca panen dan sekaligus pengawalan pendampingannya.
Kelemahan paradigma ketahanan pangan pada masa Pemerintahan Orde Baru adalah:
1) terfokus pada dimensi ketersediaan pangan, khususnya beras, pada tingkat harga murah,
2) lemahnya upaya peningkatan pendapatan dan aksesibilitas terhadap pangan yang mengakibatkan krisis pangan pada tahun1998,
3) terfokus pada ketahanan pangan di tingkat nasional dan mengabaikan ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga, dan 4) adanya kebijakan yang kontradiktif, yaitu peningkatan produksi dalam rangka pemantapan swasembada pangan, namun harga pangan dipertahankan relatif murah agar terjangkau sebagian besar konsumen (Sudaryanto dan Rusastra 2000 dalam Hariyadi et al. 2003). Atas dasar kelemahan tersebut, diajukan paradigma baru ketahanan pangan berkelanjutan dengan mempertimbangkan empat dimensi utama, yaitu ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessibility), antisipasi risiko kegagalan panen (vulnerability), dan keberlanjutan (sustainability).
Suatu daerah dimana pangan yang dibutuhkan masyarakatnya tersedia dalarn jumlah yang cukup, mempunyai keragaman serta mutu gizi yang seimbang setiap saat; maka daeratr tersebut tergolong mempunyai ketahanan pangan yang tinggi. Kecukupan tersebut mengandung pengertian tentang ketersediaan pangan secara terus menerus, merata di setiap daerah dan tejangkau oleh daya beli masyarakat sehingga terpenuhi kebutuhan gizi masyarakat.
Kebutuhan pangan berdasarkan hasil Pra widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1997, telah ditentukan sebesar 2.150 kal/kapitalhari, sedangkan untuk protein sebesar 46,5 glkapita/hari. Untuk tingkat ketersediaan dianjurkan energl sebesar 2.500 kalk<apita/ hari dan protein sebesar 55 glkapitalhai (Muhilal el al., 1997).
Menurut Saleh (1999) bahwa penyediaan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk suatu negara/wilayah sebenarnya tidak selalu mengandalkan kemampuan negara untuk memproduksi pangan yang diferlukan. Pendapat ini sesuai dengan konsep ketahanan pangan bahwa tidak mempersoalkan asal sumber pangan apakah dari produksi dalam negeri atau impor, sehingga ketahanan pangan lebih tepat diartikan kemandirian pangan. Di negaranegara berkembang karena b-erbagai alasan menempuh kebijakan swasembada pangan guna memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Langkah ini ditempuh mengingat pangan merupakan keburuhan dasar manusia dan kelangkaannya dapat mengakibatkan terjadinya gejolak yang merugikan di dalam masyarakat.
Masyarakat yang terpenuhi kebutuhan pangan dengan mutu gizi yang seimbang akan tercipta kondisi kesehatan yang optimal sehingga diharapkan akan lebih mampu berkiprah dalam pembangunan. Dengan demikian maka daerah ditunfut agar pafigan yang dibutuhkan masyarakatnya dapat tersedia dalam jumlah yang cukup dan mutu giziyangmemadai.
Dengan mengacu pada Fola Pangan Harapan (PPH) saat ini baru tercapai skor Berdasarkan pemikiran tersebut di atas perlu dilalcukan analisis tentang potensi dan ketersediaan pangan dalam kaitannya dengan ketahanan di Jawa Tengah. Maksud dan tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mengidentifikasi potensi, produksi ketersediaan dan distribusi pangan penting (nabati dan hewani) di Jawa Tengah, (2) mengkaji tingkat ketahanan pangan dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizi penduduk di Jawa Tengah, dan (3) mutu pangan sebesar 71,3, padahal skor mutupangan yang ideal adalah 93 (Tabel 1). Hal ini disebabkan oleh ketergantungan pangan sumber kalori asal beras maSih sangat besar (50%). Ke depan secara bertahap pangan asal beras perlu dikurangi sedangkan pangan sumber lain seperti pangan sumber hewani (ternak dan ikan), buah dan sayur perlu ditingkatkan, sehingga penganekaragaman akan terwujud serta akan meningkatkan kualitas pangan penduduk. Untuk mendukung langkah tersebut perlu diketahui dan digali potensi pangan yang ada, tingkat produksi dan ketersediaan pangan serta konsumsi pangan di Jawa Tengah.
Untuk dapat menghasilkan gambaran tentang potensi dan ketersediaan pangan dalam kaitannya dengan ketahanan pangan di Jawa Tengah digunakan metode sebagai berikut:
1. Untuk rnengungkap keragaan potensi dan ketersediaan pangan digunakan data potensi komoditi unggulan, produksi dan produktivitas pangan yang meliputi pangan pokok dan pangan lain dalam kurun waktu antara 3 – 6 tahun yang lalu (1ee6-2001).
2. Untuk mengukur tingkat ketahananpangan pokok sumber kalori (beras, jagung, ubi kayu dan ubi jalar) dan pangan lain akan didekati melalui supply dan demand yang masing-masing dijabarkan dari ketersediaan pangan dan kebutuhan pangan sesuai dengan ketersediaan (SPKE:suplai pangan untuk konsumsi energi) dan nonna kecukupan (NKE=norma kecukupan energi) pada masing-masing wilayah kabupateulkota di Jawa Tengah.
3. Untukmengukurketahananpangan suatu wilayah didekati dengan membandingkan antara nilai-nilai SPKE terhadap NKE di wilayah tersebut.
PENGARUH PERUBAHAN DAN ANOMALI IKLIM TERHADAP PRODUKSI PERTANIAN
Fenomena perubahan iklim (climate change) sebenarnya sudah terjadi dan sementara tetap berlangsung saat ini sampai waktu-waktu mendatang. Pada prinsipnya perubahan iklim terjadi karena beberapa unsur iklim intensitasnya menyimpang dari kondisi biasanya menuju ke arah tertentu. Berbagai penelitian ilmiah telah melaporkan bahwa karbondioksida (CO2) di lapisan atmosfir yang merupakan konsekuensi hasil sisa pembakaran dari batu bara, kayu hutan, minyak, dan gas, telah meningkat hampir mendekati angka 20% sejak dimulainya revolusi industri. Mudiarso (2003) menjelaskan bahwa kawasan perindustrian telah menghasilkan limbah “gas rumah kaca” (GRK), seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrousoksida (N2O) yang dapat menyebabkan terjadinya “efek selimut”. Efek inilah yang kemudian mangakibatkan naiknya suhu di permukaan bumi. Sebagai bahan perbandingan, konsentrasi GRK pada masa pra-industri di abad ke-19 baru sebesar 290 ppmv (CO2), 700 ppbv (CH2), dan 275 ppbv (N2O). Sedangkan pada saat ini, peningkatannya menjadi sebesar 360 ppmv(CO2), 1.745 ppbv (CH4), dan 311 ppbv (N2O). Dengan demikian, menurut para ahli, GRK untuk CO- pada tahun 2050 diperkirakan akan mencapai kisaran 550 ppmv.
Sektor pertanian, selain merupakan penyumbang emisi GRK, tetapi pertanian juga merupakan sektor yang paling terkena dampak akibat perubahan iklim, terutama tanaman pangan. Perubahan iklim telah menyebabkan penurunan produktivitas dan produksi tanaman pangan akibat peningkatan suhu udara, banjir, kekeringan, intensitas serangan hama dan penyakit, serta penurunan kualitas hasil pertanian. Lebih lanjut Putra dan Indradewa (2011) menjelaskan bahwa peningkatan suhu udara di atmosfer sebesar 5oC akan diikuti oleh penurunan produksi jagung sebesar 40% dan kedelai sebesar 10- 30%. Sementara itu, peningkatan suhu 1-3oC dari kondisi saat ini menurunkan hasil padi sebesar 6,1-40,2%. Pengaruh ini juga terlihat pada tanaman kacang-kacangan yang mengindikasikan kaitan antara penurunan curah hujan sebesar 10-40% dari kondisi normal dengan penurunan produksi sebesar 2,5-15%. Data lainnya terkait dengan cekaman kekeringan memberikan informasi bahwa el nino yang terjadi pada tahun 1997 dan 2003 menyebabkan menurunnya hasil padi sebesar 2-3%. Penurunan tersebut dapat menjadi lebih ekstrem apabila El Nino dibarengi dengan peningkatan suhu udara.
Pembinaan Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat
Kehidupan masyarakat petani di perdesaan sangat dipengaruhi adat-istiadat, budaya dan agama. berkaitan dengan upaya mengantisipasi kerawanan pangan akibat dari perubahan iklim, kearifan manusia (local wisdom) yang selaras dengan alam merupakan salah satu kunci keberhasilan upaya ini. Dari aspek adat, banyak kearifan lokal yang mulai terkikis oleh gerak laju perkembangan zaman yang menglobal. Seperti halnya daerah lain, di Gorontalo dikenal budaya “huyula” atau dalam pengertian umum gotong royong yang merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang saat ini masih ada, walaupun mulai terkikis oleh perkembangan zaman. Salah satu kearifan lokal yang berkaitan dengan kegiatan pertanian adalah penentuan waktu tanam yang didasarkan pada ilmu perbintangan yang dikenal dengan istilah “panggoba”. Sejak zaman dahulu, budaya ini dipegang teguh oleh petani. Namun seiring perubahan iklim mikro maupun global, panggoba mulai ditinggalkan. Dalam konteks ini, keberadaan panggoba sebagai salah satu upaya penentuan waktu tanam dapat dikombinasikan dengan data dan informasi iklim yang dikumpulkan pada stasiun pengamatan iklim. Hal ini cukup beralasan karena petani juga merupakan sumber informasi iklim yang strategis, melalui pencermatan dan interpretasi lapangan, baik menurut kearifan lokal (local wisdom) maupun pendekatan diskriptif dengan alat sederhana.
Penguatan Ekonomi dan Kelembagaan Petani
Pengembangan ekonomi di sektor pertanian dapat dilakukan dengan pendekatan agribisnis. Pengembangan pertanian melalui pendekatan agribisnis merupakan langkah yang benar dan tepat (on the right track) karena pendekatan ini mengintegrasikan secara vertikal aktivitas hulu hingga hilir dan secara horizontal berbagai sektor sehingga mampu menciptakan keuntungan yang layak bagi petani. Lembaga agribisnis yang perlu dikembangkan adalah kelompok tani, perkumpulan petani pemakai air (P3A), koperasi dan lembaga keuangan perdesaan, penyedia sarana dan prasarana produksi, pemasaran hasil, dan jasa pelayanan alsintan. Selain kedua lembaga tersebut, pemberdayaan penyuluh lapangan juga perlu dilakukan karena mereka yang langsung berhadapan dengan petani. Pemberdayaan kelembagaan petani bertujuan untuk meningkatkan partisipasi petani dalam kelembagaan usaha tani. Kelembagaan masyarakat seperti Badan Perwakilan Desa (BPD) berperan menggerakkan masyarakat dalam kegiatan bersama, menumbuhkan dan meningkatkan peran masyarakat dalam kegiatan yangdiprakarsai pemerintah setempat, serta meningkatkan kemandirian petani dalam pembangunan pertanian. Sementara itu, koperasi unit desa (KUD) berperan membantu petani anggotanya dalam memperoleh kredit, sarana produksi, dan alat-alat pertanian serta menampung dan memasarkan hasil.
Ketersediaan pangan di Nganjuk tersedia dalam lumbung-lumbung pangan. Terdapat 98 lumbung pangan dimana berisi 25 ton gabah/lumbung untuk ukuran lumbung yang besar, sedangkan untuk lumbung yang kecil-kecil berisi 4-8 ton gabah/lumbung. Sementara di Desa Betet untuk memenuhi ketersediaan pangan, dibentuk KUD serta lumbung pangan untuk menampung hasil produksi petani. Namun, lumbung pangan ini pemanfaatannya masih kurang, karena beberapa lumbung tidak berisi bahan pangan melainkan pupuk.
Sistem distribusi pangan di Nganjuk sendiri yaitu sistem tunda jual. Tunda jual yaitu upaya yang dilakukan oleh individu/kelompok tani guna mengatur waktu untuk memasarkan hasil usaha taninya melalui proses pengolahan, penyimpanan dan pemasaran sehingga mempe-roleh posisi tawar dan nilai jual yang tinggi. Sedangkan di Desa Betet, distribusi pangan dilakukan dengan menjual langsung kepada konsumen serta tengkulak untuk memudahkan para petani mendistribusikan pangan kesemua sektor, langkah ini telah sesuai dengan apa yang diarahkan oleh Dinas Pertanian melalui PPL.
Akses terhadap distribusi pangan yang dilaksanakan secara merata, hal tersebut secara nyata telah dibuktikan dengan tingkat daya beli masyarakat yang relatif tinggi, hal tersebut dikarenakan masyarakat Desa Betet adalah kaum petani, distribusi pangan ini sangat membantu mereka untuk menjual kembali hasil produksi mereka khususnya berupa gabah.
Ketiga, Konsumsi Pangan, Pangan yang tersedia dan tersebar merata tersebut, kemudian konsumsi dapat dilakukan oleh masyarakat. Konsumsi ini tidak serta merta makanan apa saja yang bisa dimakan, namun juga terdapat aspek-aspek yaitu bergizi, sehat, aman serta beragam. Oleh karena itu, perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat agar masyarakat mengerti dan memahami akan makanan yang bergizi, sehat, aman serta beragam.
Upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Nganjuk yaitu mengadakan program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP). Salah satu implementasinya adalah pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari. Model Kawasan Rumah Pangan Lestari ini dilakukan dengan pemanfaatan pekarangan milik masyarakat untuk bisa ditanami bahan pangan (selain beras) serta dapat juga digunakan untuk beternak. Hal ini dilakukan dengan tujuan memberikan keragaman konsumsi pangan masyarakat yang mengandung gizi seimbang serta sehat untuk dikonsumsi, juga sekaligus mengurangi ketergantungan masya-rakat akan beras.
Dengan terlaksananya ketersediaan, distribusi serta konsumsi pangan yang baik, maka ketahanan pangan juga akan terwujud dengan baik pula.
Faktor penghambat dan pendukung yang terjadi dalam upaya pemberdayaan petani dalam meningkatkan ketahanan pangan.
a. Faktor Penghambat Internal
Kualitas sumber daya manusia di Desa Betet Kecamatan Ngronggot Kabupaten Nganjuk sendiri dinilai masih rendah. Masih banyaknya sumber daya manusia khususnya masyarakat petani disini kurang mempunyai pengetahuan, baik itu cara menanam maupun perawatan yang lebih baik. Masyarakat petani disini masih banyak yang menggunakan cara lama dalam menjalankan usaha taninya.
Selain sumber daya manu-sia,kurangnya alat mesin pertanian juga menjadi faktor penghambat. Desa Betet sendiri alat mesin pertanian di dirasa masih kurang. Masyarakat petani disini masih merasa kesulitan menjalankan usaha taninya karena masih menguna-kan alat pertanian yang tradisional. Ini bisa membuat hasil produksi kurang baik dan disisi lain juga bisa mengu-rangi pendapatan mereka, mengingat hasil yang didapatkan kurang baik.
b. Faktor Penghambat Eksternal
Selain sumberdaya manusia dan alat pertanian, cuaca juga berpengaruh dalam menjalankan usaha tani. Cuaca yang tidak menentu, dapat berpengaruh terhadap tanaman yang akan maupun sedang ditanam oleh petani. Tanaman yang akan ditanam harus melihat cuaca terlebih dahulu, ini bertujuan untuk memilih tanaman apa yang cocok untuk ditanam. Hal ini menjadi penghambat masyarakat petani dalam menjalankan usaha taninya. Ketidaksesuaian jenis tanaman dengan cuaca yang ada, produksi yang akan dihasilkan juga akan kurang sesuai dengan harapan.
Disamping itu, kapasitas sumber daya pertanian yang kurang juga menjadi penghambat secara eksternal. Sumber daya pertanian yang berupa air, mempunyai peran yang sangat penting dalam pertanian khususnya dalam usaha tani. Di Desa Betet sendiri pengairan sangat mengandalkan pada satu sumber mata air yaitu Sungai Brantas, ini tentunya sangat kurang karena banyaknya lahan pertanian yang mesti harus terairi. Selain itu jarak jangkauan sumber mata air dengan lahan pertanian juga cukup jauh. Sedangkan saluran irigasi yang ada juga banyak yang mengalami kerusakan.
c. Faktor Pendukung Internal.
Adanya program pemberdayaan petani, merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung berkembangnya pertanian, begitu juga di Desa Betet. Program pemberdayaan yang diberikan membuat petani menjadi lebih terampil dan berpengetahuan, dan ini dapat berpengaruh pada hasil usaha tani untuk menjadi lebih baik sesuai harapan sehingga dapat menciptakan suatu ketahanan pangan.
Selain itu, dukungan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah membantu meningkatkan kualitas hasil produksi petani itu sendiri. Dukungan yang diberikan dapat berupa bantuan maupun pengetahuan serta keterampilan yang diberikan kepada petani dalam menjalankan usaha tani yang lebih baik.
d. Faktor Pendukung Eksternal.
Menjalankan program yang diberikan Pemerintah, diperlukan aspek-aspek penunjang agar berjalan dengan baik dan lancar. Salah satu aspek tersebut, yaitu bantuan yang diberikan oleh Pemerintah kepada petani. Bantuan ini dapat meringankan petani dalam menjalankan usaha taninya. Hal ini membantu usaha tani yang dijalankan mendapatkan hasil yang maksimal, dimana hasil yang maksimal tersebut juga dapat mencipatakan suatu ketahanan pangan yang ada di Desa Betet Kecamatan Ngronggot.
Tujuan Pembangunan Ketahanan Pangan Pembangunan ketahanan pangan ditujukan untuk memperkuat ketahanan pangan di tingkat mikro/tingkat rumahtangga dan individu serta di tingkat makro/nasional, sebagai berikut:
1. Mempertahankan ketersediaan energi per kapita minimal 2 200 Kilokalori/hari, dan penyediaan protein perkapita minimal 57 gram/hari.
2. Meningkatkan konsumsi pangan perkapita untuk memenuhi kecukupan energi minimal 2 000 Kilokalori/hari dan protein sebesar 52 gram/hari.
3. Meningkatkan kualitas konsumsi pangan masyarakat dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) minimal 80 (padi-padian 275 g, umbi-umbian 100 g, pangan hewani150 g, kacang-kacangan 35 g, sayur dan buah 250 g).
4. Meningkatkan keamanan, mutu dan higiene pangan yang dikonsumsi masyarakat.
5. Mengurangi jumlah/persentase penduduk rawan pangan kronis (yang mengonsumsi kurang dari 80% AKG) dan pendudukmis kin minimal 1 persen pertahun; termasuk di dalamnya ibu hamil yang mengalami anemia gizi dan balita dengan gizi kurang.
6. Meningkatkan kemandirian pangan melalui pencapaian swasembada beras berkelanjutan, swasembada jagung pada tahun 2007, swasembada kedelai pada tahun 2015, swasembada gula pada tahun 2009 dan swasembada daging sapi pada tahun 2010; serta membatasi impor pangan utama di bawah 10 persen dari kebutuhan pangan nasional.
7. Meningkatnya rasio lahan per orang (land-man ratio) melalui penetapan lahan abadi beririgasi minimal 15 juta ha, dan lahan kering minimal 15 juta ha.
8. Meningkatnya kemampuan pengelolaan cadangan pangan pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
9. Meningkatnya jangkauan jaringan distribusi dan pemasaran pangan ke seluruh daerah.
10. Meningkatnya kemampuan nasional dalam mengenali, mengantisipasi dan menangani secara dini serta dalam melakukan tanggap darurat terhadap masalah kerawanan pangan dan gizi.
Strategi Umum
Berdasarkan arah dan tujuan tersebut, strategi untuk mewujudkan ketahanan pangan yang akan dilaksanakan adalah strategi jalur ganda (twin-track strategy), yaitu: (a) membangun ekonomi berbasis pendapatan; dan (b) memenuhi pangan bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan melalui pemberian bantuan langsung agar tidak semakin terpuruk, serta pemberdayaan agar mereka semakin mampu mewujudkan ketahanan pangannya secara mandiri. Kedua strategi tersebut dijalankan dengan menggerakkan seluruh komponen bangsa, yaitu pemerintah, masyarakat termasuk LSM, organisasi profesi, organisasi massa, koperasi, organisasi sosial, serta pelaku usaha, untuk melaksanakan aktivitas ekonominya secara efesien dan bertanggungjawab, melaksanakan kewajiban sosialnya serta, membantu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat miskin, rawan pangan dan gizi, golongan usia lanjut dan cacat ganda.

Kebijakan Peningkatan Produksi Tanaman Pangan Lokal
Upaya untuk menghindari kerawanan pangan yang dialami oleh daerah-daerah yang memiliki kondisi alam dan curah hujan yang relatif sedikit seperti provinsi NTT, maka diperlukan suatu kebijakan yang sesuai dengan kondisi alam sehingga implementasinya lebih mudah. Menurut Pakpahan dan Pasandaran (1990: 68) ketahanan pangan merupakan resultan dari interaksi antara teknologi, sumberdaya alam, modal, dan sumberdaya manusia yang dikoordinasikan baik melalui mekanisme
pasar ataupun mekanisme pengaturan lainnya seperti kebijakan pemerintah yang
mengatur program produksi pertanian. Dipandang dari segi ini, permasalahan dan
tantangan utama untuk mencapai derajat ketahanan pangan yang lebih tinggi adalah
permasalahan dalam pengorganisasian seluruh subsistem dalam sistem pangan
yaitu pengorganisasian:
1) subsistem masukan,
2) subsistem produksi,
3) subsistem pemasaran, dan
4) subsistem konsumsi.
Selain memperhatikan pengorganisasian, permasalahan ketahanan pangan perlu dibedakan pada berbagai situasi seperti:
a. Permasalahan utama ketahanan pangan di mana jumlah pangan yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan pangan penduduk.
b. Permasalahan ketahanan pangan pada situasi di mana jumlah pangan yang tersedia secara statistik agregat mencukupi kebutuhan pangan penduduk, tetapi distribusinya kurang baik.
c. Permasalahan ketahanan pangan pada situasi di mana jumlah pangan yang tersedia secara statistik agregat mencukupi kebutuhan pangan penduduk, tetapi sebagian kelompok masyarakat tidak dapat memperoleh bahan pangan karena mereka tidak memiliki daya beli yang cukup.
Masalah ketahanan pangan pada situasi di mana jumlah pangan yang tersedia secara statistik agregat tidak mencukupi kebutuhan pangan penduduk dan masyarakat tidak memperoleh bahan pangan karena daya beli rendah, serta persoalan distribusi menuntut upaya keras dalam meningkatkan produksi pangan lokal, peningkatan pendapatan petani, dan memperbaiki sarana dan prasarana serta kelembagaan. Hal inilah yang kemudian memicu pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur mengeluarkan berbagai kebijakan dalam rangka menuntaskan permasalahan kerawanan pangan tersebut.
BAB III
PEMBAHASAN

III.1.Kebijakan dan Program Pembangunan Pangan
Kebijakan pembangunan pangan diarahkan pada pemantapan ketahanan pangan untuk menjamin penyediaan pangan yang adil dan merata di tingkat masyarakat, rumah tangga dan perorangan yang sesuai dengan kemampuan daya beli untuk memenuhi kebutuhan gizi (Hardinsyah, 2000; Hardinsyah dan Martianto, 2001). Arah kebijakan tersebut diterjemahkan pada tiga tujuan dan target kebijakan pangan yaitu:
1. Meningkatkan ketahanan pangan yang diindikasikan oleh swasembada beras dan skor pola konsumsi pangan 100 pada akhir tahun 2020.
2. Penduduk bebas dari pangan yang tidak aman yang diindikasikan dengan peningkatan pengetahuan produsen tentang ketidakamanan pangan.
3. Pengembangan kelembagaan pangan yang diindikasikan oleh keberadaan legislasi pangan dan lembaga koordinasi pembangunan pangan.
Berdasarkan tiga tujuan dan target tersebut, pemerintah merumuskan empat kebijakan pangan yaitu: meningkatkan ketahanan pangan, diversifikasi konsumsi pangan, keamanan pangan dan pengembangan kelembagaan pangan. Kebijakan pangan tersebut merupakan penegasan dari kebijakan yang telah dikeluarkan sebelumnya, yaitu UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Kantor Meneg Pangan, 1997)
III.2.Upaya meningkatkan ketahanan pangan mempunyai perspektif pembangunan yang
sangat mendasar karena:
1. Akses pangan dan gizi seimbang sebagai pemenuhan kebutuhan dasar pangan merupakan hak yang paling asasi bagi manusia.
2. Keberhasilan dalam proses pembentukan sumberdaya manusia terletak pada keberhasilan memenuhi kecukupan pangan dan perbaikan pola konsumsi.
3. Ketahanan pangan merupakan unsur strategis dalam pembangunan ekonomi dan ketahanan nasional.
Bagi Indonesia, perhatian terhadap ketahanan pangan nasional dinilai strategis, setidak-tidaknya dengan empat alasan yaitu:
1. Pangan, terutama pangan pokok merupakan kebutuhan masyarakat.
2. Porsi pangan masih menempati urutan terbesar pengeluaran rumah tangga, terutama pada rumah tangga berpendapatan rendah.
3. Pekanya pengaruh pangan (ketersediaan dan harga) terhadap situasi ekonomi, sosial dan politik.
4. Kuatnya pengaruh global dibidang pangan berkaitan dengan liberalisasi perdagangan.
Undang-Undang Ketahanan Pangan Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa pangan sebagai kebutuhan dasar manusia menjadi hak asasi setiap masyarakat yang harus senantiasa tersedia cukup, aman, bergizi, beragam dan terjangkau oleh daya beli masyarakat (Sibuea, 1998). Pasal 1 ayat 17 Undang-Undang Ketahanan Pangan (UU No. 7/1996) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah, mutu, aman, merata dan terjangkau. Sementara definisi ketahanan pangan yang secara resmi disepakati oleh para pimpinan negara anggota PBB, termasuk Indonesia, pada World Food Conference Human Right 1993 dan World Food Summit 1996 adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi setiap individu dalam jumlah dan mutu agar dapat hidup aktif dan sehat secara berkesinambungan sesuai budaya setempat.
Secara sederhana ketahanan pangan adalah suatu keadaan dimana semua rumah tangga baik secara fisik maupun ekonomi mempunyai kemampuan mencukupi kebutuhan pangan untuk seluruh anggota keluarganya. Ada 3 dimensi yang secara implisit terkandung di dalamnya, yaitu ketersediaan, stabilitas dan kemampuan untuk mendapatkan dan memproduksi (aksesibilitas) pangan. Ketersediaan pangan mengisyaratkan adanya rata-rata pasokan pangan yang cukup dan tersedia. Stabilitas dapat dipandang sebagai kemampuan meminimalkan kemungkinan konsumsi pangan terhadap permintaan konsumsi, khususnya di masa-masa sulit. Aksesibilitas mengingatkan pada kenyataan bahwa walaupun pasokan melimpah, banyak orang kekurangan pangan sebagai akibat keterbatasan sumberdaya untuk mem-produksi atau membeli pangan yang dibutuhkan. Dalam kaitan ini, penting diingat bahwa jika kebutuhan pangan dipenuhi melalui eksploitasi sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui atau merusak lingkungan maka tidak akan menjamin ketahanan pangan dalam jangka panjang. Sistem ketahanan pangan dikatakan mantap apabila mampu memberikan jaminan bahwa semua penduduk setiap saat pasti memperoleh makanan yang cukup sesuai dengan norma gizi untuk kehidupan yang sehat, tumbuh dan produktif. Ancaman resiko atau peluang kejadian sebagian penduduk menderita kurang pangan merupakan indikator keragaan akhir dari sistem ketahanan pangan.
World Bank (1993) mengindikasikan bahwa ketahanan pangan dapat dicapai hanya jika rumahtangga mempunyai kemampuan untuk membeli pangan. Dengan menggunakan ukuran jumlah konsumsi dan mutu gizi pangan rendah sebagai ukuran tidak tahan pangan (food insecurity), sekitar 40 % rumahtangga tergolong tidak tahan pangan (Hardinsyah, 1998). Pada tingkat individu, masalah ketahanan pangan tampak pada masalah gizi yang dialami anak balita dan ibu hamil, sebagai indikator keluaran (output) ketahanan pangan (Hardinsyah, 2000)
Pertanian Organik
Tinjauan tentang ketahanan pangan selama ini masih difokuskan pada aspek ketersediaan dan aksesibilitas, yaitu bagaimana negara dan masyarakat secara umum dapat memenuhi kebutuhan akan pangan dengan menyediakan pangan baik dari produksi dalam negeri melalui swasembada dengan upaya peningkatan produksi maupun impor dan bagaimana rakyat, khususnya yang tergolong miskin, mampu mendapatkan pangan dengan harga yang terjangkau, yang dilakukan melalui operasi pasar dan penjualan beras murah, terutama oleh pemerintah. Dua aspek yang lain yaitu keamanan dan keberlanjutan pangan belum menjadi bagian dari titik berat perhatian.
III.3.Beberapa indikasi kesalahan penerapan pembangunan pertanian dan atau perdesaan diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Adanya ketidakpastian hukum terhadap kepemilikan tanah, khususnya bagi masyarakat petani yang mengolah tanah-tanah adat/negara secara turun-temurun sehingga dapat menimbulkan masalah-masalah sosial pada saat ada kepentingan penguasa dan pengusaha terhadap pengembangan tanah tersebut.
2. Adanya ketidakjelasan dan ketidaktegasan pelaksanaan rencana tata ruang oleh pemerintah.
3. Adanya alih fungsi tanah-tanah subur atau tanah sawah untuk fungsi non-pertanian, dimana setiap tahun lebih dari 700 Ha tanah sawah berubah fungsi menjadi perumahan, jalan dan fasilitas umum lainnya.
4. Adanya perambahan hutan dan pencurian kayu sebagai akibat ketidakdisiplinan pegawai pemerintah dan masyarakat secara umum serta ketidakpedulian masyarakat luas terhadap manfaat hutan.
5. Adanya pencemaran tanah, air dan udara sebagai akibat penerapan zat-zat kimia pertanian yang semakin parah dan penerapan teknologi pertanian yang tidak terpadu dan berbasis kimia, yang mengakibatkan timbulnya ekonomi biaya tinggi dan resiko kegagalan panen yang tinggi.
Di sisi yang lain, akibat kemiskinan dan penerapan teknologi pertanian yang salah, masyarakat secara luas memiliki potensi untuk merusak lingkungan, baik sengaja maupun tidak sengaja, antara lain karena:
1. Terpaksa menjual tanahnya karena kebutuhan yang mendesak, kegagalan panen yang terus menerus, kerugian usahatani akibat fluktuasi harga produk yang tinggi sehingga banyak tanah di perdesaan berubah fungsi bahkan terlantar. Kondisi ini pada giliran selanjutnya akan memperparah tingkat kemiskinan petani.
2. Kecenderungan petani untuk mengeksploitasi sumberdaya alam seperti penebangan liar, penambangan batu/pasir, meracuni kolam untuk perburuan ikan atau binatang air yang dapat dimakan.
3. Adanya kecenderungan untuk menerapkan teknologi pertanian yang berbasis kimia. Pestisida dan pupuk kimia banyak diterapkan untuk meningkatkan produksi lahan sehingga pencemaran tanah dan air di lahan pertanian semakin tak terkendali, produktifitas lahan/tanaman menjadi rendah, kesehatan petani/masyarakat secara umum menjadi terganggu. Secara keseluruhan hal ini mengakibatkan semakin tidak menariknya sektor pertanian bagi generasi muda.
III.4.Secara lebih luas, pertanian dikatakan pertanian berkelanjutan jika mencakup hal-hal berikut:
1. Mantap secara ekologis dalam arti bahwa kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan ditingkatkan, mulai dari manusia sebagai pengelolanya, tanaman dan hewan sampai kepada organisme tanahnya, dengan penekanan pada penggunaan sumberdaya yang bisa diperbaharui.
2. Bisa berlanjut secara ekonomis dalam arti bahwa petani sebagai pengelola bisa cukup menghasilkan untuk memenuhi kebutuhan dan atau pendapatannya sendiri serta mendapatkan penghasilan yang cukup untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang telah dikorbankan.
3. Adil, dalam arti bahwa semua bentuk kehidupan dihargai. Martabat dasar semua makhluk hidup dihormati dan hubungan serta institusi menggabung-kan nilai kemanusiaan yang mendasar. Integritas budaya dan spiritualitas masyarakat dijaga dan dipelihara.
4. Luwes, dalam arti bahwa masyarakat pertanian terutama di perdesaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus, termasuk pengembangan teknologi yang baru dan sesuai dan inovasi sosial-budaya.

BAB IV
KESIMPULAN
Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah, mutu, aman, merata dan terjangkau, yang secara garis besar mencakup empat elemen yaitu ketersediaan, aksesibilitas, keamanan dan keberlanjutan.
Dengan pertanian organik yang berkelanjutan, tidak saja produksi pangan yang aman dapat dihasilkan karena diminimkannya pemakaian bahan-bahan kimia, akan tetapi dalam jangka panjang kemampuan agroekosistem secara keseluruhan juga dapat dipertahankan sehingga produksi dan produktifitas pertanian dapat senantiasa ditingkatkan. Tersedianya produksi dalam negeri yang mantap dan berkelanjutan diharapkan dapat mendorong stabilitas harga hasil pertanian sehingga petani dan kelompok masyarakat miskin dapat menjangkau pangan meskipun daya belinya relatif rendah. Dengan keamanan dan keberlanjutan produksi dan konsumsi pangan ini selanjutnya diharapkan mutu konsumsi pangan masyarakat secara umum dapat meningkat sehingga masyarakat dapat hidup sehat, aktif dan produktif untuk mengisi, melanjutkan dan meningkatkan pembangunan.
Masih banyak masalah yang harus diselesaikan dalam mewujudkan ketahanan pangan. Pada tingkat nasional, masalah ketahanan pangan tampak pada gejala penurunan produksi per kapita pangan, terutama produk tanaman pangan dan hortikultura, yang terjadi baik menjelang dan pada saat krisis. Pada tingkat rumah tangga, rapuhnya ketahanan pangan itu dapat diindikasikan oleh salah satu komponen masukan (input) ketahanan pangan yaitu rendahnya daya beli sebagian rumah tangga yang tercermin pada angka kemiskinan.

BAB V
DAFTAR PUSTAKA
• Hardinsyah, 1998. Kelembagaan Ketahanan Pangan dan Gizi. Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi
• Wididana, GN. 2000. Pembangunan Pertanian, Lingkungan, Kesehatan dan Mental untuk Kesejahteraan Masyarakat. Institut Pengembangan Sumberdaya Alam. Denpasar.
• Maxwell, D.C. 1996. Measuring Food Insecurity : The Frequency and Severity of Coping Strategies. Food Policy.
• Hardinsyah, D. Martianto, Hartoyo, D. Briawan, CM. Dwiriani dan B. Setiawan. 2000. Membangun Sistem Ketahanan Pangan yang Tangguh. PERGIZI PANGAN Indonesia dan CRESCENT. Bogor.
• Dewan Bimas Ketahanan Pangan. 2001. Kebijakan Umum Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional. Jakarta.