KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH DAERAH

BAB 1

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, pemerintah memiliki fungsi memberikan pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan atau pun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan lainnya.

Peran pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas perekonomian di indonesia adalah suatu kewajiban dan tugas pemerintah untuk mensejahterakan seluruh warga masyarakat Indonesia melalui pelayanan publik, Sehingga pemerintah telah melakukan berbagai upaya agar warga masyarakat indonesia merasakan hidup makmur dan sejahtera.

Desentralisasi pemerintahan atau otonomi daerah adalah sebuah bentuk perintah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik dan bersistem. Peran dari pelayanan dan kebijakan publik sangatlah vital dan penting. Karena pemerintahan dikatakan baik apabila dapat mengelola dan menjalankan pelayanan dan kebijakan publik yang baik. Hal ini akan terjadi apabila aspek aspek didalamnya memiliki itikad yang baik pula, namun hingga saat ini permasalahan mengenai pelayanan dan kebijakan publik masih banyak terjadi dan tak jarang pemerintah daerah mulai mengalami kesulitan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada.

Dalam bidang ekonomi, sering sekali mengalami gejolak dan turunnya siklus perekonomian di Indonesia. Berbagai upaya akan di lakukan oleh pemerintah dalam mengatasi permasalahan ekonomi Indonesia. Terutama kebijakan pemerintah dalam bidang perekonomian. Dalam era globalisasi ini di bidang perekenomian akan sangat terpengaruh di setiap negara. Otomatis pemerintah harus lebih bijak dalam menanggapi masalah ini. Oleh karena itu, peran kebijaksanaan pemerintah sangatlah penting dalam menghadapi masalah perekonomian dampak dari globalisasi.

Di Indonesia, upaya memperbaiki pelayanan sebenarnya juga telah dilaksanakan oleh pemerintah. Untuk lebih mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap peningkatan mutu pelayanan, maka pemerintah mengeluarkan pedoman tentang perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat. Namun, hingga kini masyarakat masih menganggap bahwa kualitas pelayanan publik masih teramat rendah, terutama di daerah-daerah. Berbagai masalah masih muncul dari masalah birokrasi hingga sumber daya manusia yang masih kurang menguasai bidang tersebut.

II. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan permasalahan yang dapat diambil adalah :

1. Apa sajakah permasalahan yang ada pada pelayanan publik pemerintahan daerah?

2. Bagaimanakah upaya untuk mengatasi permasalahan pelayanan publik pada pemerintahan daerah?

3. Mengapa reformasi pelayanan publik yang menjadi titik strategis untuk membangun good governance?

4. Apakah dampak kebijakan yang perlu diperhatikan di dalam evaluasi kebijakan?

III. TUJUAN PENULISAN

1. Mengetahui tentang peranan kebijakan publik dalam pemerintah.

2. Mengetahui tentang paradigma pelayanan publik pemerintah.

3. Mengetahui tentang perubahan kualitas pelayanan publik pemerintah.

4. Mengetahui tentang alasan reformasi pelayanan publik yang menjadi titik strategis untuk membangun good governance.

5. Mengetahui tentang dampak kebijakan yang perlu diperhatikan di dalam evaluasi kebijakan

 

 

 

BAB II.

TINJAUAN LITERATUR

Dari jurnal yang saya sudah baca akan menjadi dasar dan bahan informasi yang akan saya bahas dalam paper ini.

Penerapan kebijakan otonomi daerah di Indonesia menimbulkan harapan besar bagi masyarakat, terutama dalam hal peningkatan pelayanan publik. Hakikat desentralisasi sebagaimana dinyatakan oleh Hoessein (2002) adalah otonomisasi suatu masyarakat dalam wilayah tertentu. Pada otonomi daerah, urusan manajemen pelayanan menjadi kewenangan pemerintah daerah sehingga akan mendekatkan jarak antara pemberi pelayanan dan yang dilayani. Pemerintah daerah dianggap dapat lebih memahami keinginan penduduk lokal sehingga pengambilan keputusan dalam penyediaan pelayanan lebih responsif terhadap permintaan masyarakat.

Fakta di lapangan justru menunjukkan kualitas pelayanan publik tidak jauh berbeda dibandingkan sebelum era otonomi daerah. Hasil penelitian mengenai dampak otonomi daerah terhadap pelayanan publik yang dilakukan Lembaga Penelitian SMERU di Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lombok Barat (2002) menunjukkan bahwa pelayanan publik khususnya di sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur belum menunjukkan perubahan nyata ke arah yang semakin baik, justru menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Penyebabnya adalah manajemen pelayanan yang sematamata berdasarkan pada pendekatan formalistik, bukannya mencoba untuk menerapkan pelayanan secara kontekstual berdasarkan perkembangan aspirasi masyarakat pengguna pelayanan (Dwiyanto, 2002). Padahal pada pendekatan desentralisasi, peluang masyarakat untuk berpartisipasi sangat dimungkinkan dengan semakin dekatnya jarak antara masyarakat dan pemerintah.

Thomas Dye dalam bukunya “Understanding Public Policy” menggambarkan kebijakan publik sebagai apapun yang dipilih untuk dilakukan dan tidak dilakukan pemerintah. Namun bagi sebagian ahli, definisi yang dikemukakan Dye dianggap terlalu sederhana serta tidak cukup menggambarkan keseluruhan konsep dari kebijakan James Anderson mengemukakan pengertian kebijakan publik yang lebih kompleks. Menurut Anderson, kebijakan publik pada dasarnya merupakan serangkaian tindakan terarah yang dilakukan oleh aktor atau sejumlah aktor dalam menangani masalah – masalah tertentu. Kebijakan publik merupakan kebijakan yang dikembangkan oleh para pejabat pemerintah untuk menangani masalah tersebut.

Pemerintahan di seluruh dunia pada saat ini menghadapi “tekanan” dari berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan meningkatkan partisipasi aktif dalam pemberian informasi bagi masyarakat serta dituntut untuk lebih efektif. Hal tersebut menyebabkan e-Government atau pemerintahan berbasis elektronik semakin berperan penting bagi semua pengambil keputusan. Pemerintah Tradisional (traditional government) yang identik dengan paper-based administration mulai ditinggalkan. Transformasi traditional government menjadi electronic government (e-Government) menjadi salah satu isu kebijakan publik yang hangat dibicarakan saat ini. Di Indonesia e-Government baru dimulai dengan inisiatif yang dicanangkan beberapa tahun lalu.

Oleh karena itu misalkan terjadi suatu perselisihan, sengketa dan atau pengaduan, maka proses pengelolaan nya diselaraskan dengan asas-asas tersebut. Paradigma “Reinventing Government” ini juga dikenal dengan nama New Public Management (NPM), yang kemudian dilanjutkan dengan diterapkannya prinsip good governance. Pemerintahan yang baik (good governance) merupakan issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntuan gencar yang dilakukan masyarakat kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik sejalan dengan meningkatnya peradaban masyarakat dan globalisasi. Good governance sebagai penterjemah konkrit demokrasi meniscayakan adanya civic culture sebagai penopang sustainaibilitas demokrasi, mengandung dua pengertian :

(1) nilai-nilai yangmenjunjung tinggi keinginan/ kehendak rakyat, nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan untuk mencapai tujuan kemandirian emosional, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial,

(2) aspekaspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas.

Hood sebagaimana dikutip oleh Yeremias T Keban, mengungkapkan bahwa adA tujuh komponen doktrin dalam New Public Management (NPM) yaitu:

 

 

1. Pemanfatan manajemen profesional dalam sektor publik.

2. Penggunaan indikator Analisa Kebijakan Pelayanan Publik di Kabupaten Gianyar (Diah Hariani).

3. Penekanan yang lebih besar pada control output.

4. Pergeseran perhatian ke unit-unit yang lebih kecil.

5. Pergeseran ke kompetisi yang lebih tinggi.

6. Penekanan gaya sektor swasta pada praktek menajemen.

7. Penekanan pada disiplin dan penghematan yang lebih tinggi dalam penggunaan sumberdaya.

Namun apakah konsep governance yang menekankan pentingnya interaksi sinergis antara ketiga domain – pemerintah, swasta, dan masyarakat – tersebut telah dapat diterapkan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, khususnya pelayanan transportasi publik di Kota Surabaya? Semua itu memerlukan suatu kajian secara ilmiah sehingga dapat diperoleh suatu deskripsi yang jelas. Esa Wahyu Endarti.

Interaksi yang terjalin dalam proses formulasi kebijakan maupun implementasinya, melibatkan paling tidak tiga aktor yakni: arranger, producer, dan consumer. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota selaku arranger memiliki resources berupa otoritas formal dan kedudukan (position and legitimate power) yang dengan sendirinya mempunyai kekuatan untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik. Dengan adanya otoritas formal tersebut, Pemerintah Provinsi dan Kota, dalam hal ini Dinas Perhubungan Kota dan Dinas Lalu Lintas Jalan Raya (DLLAJ) Provinsi, menyusun kebijakan teknis di bidang perhubungan sekaligus melaksanakan kebijakan teknis tersebut serta melakukan pembinaan umum di bidang perhubungan. Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kota Surabaya bertindak selaku arranger yang memfasilitasi dan mengatur pengoperasian Bus Kota di Surabaya.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam ini memiliki kewenangan mengeluarkan ijin trayek dan penetapan tarif bus kota. Hal ini mengingat jangkauan lintasan bus kota Surabaya umumnya melewati wilayah Kabupaten Sidoarjo dimana terminal Purabaya sebagai salah satu terminal bus kota Surabaya berada di wilayah Kabupaten Sidoarjo. Sedangkan Pemerintah Kota Surabaya berwenang menangani uji kir kendaraan dan bertanggung jawab melakukan evaluasi atau pemantauan kelayakan kendaraan yang beroperasi di wilayahnya. Dalam hal memberikan pelayanan angkutan kota berupa Bus Kota, Pemerintah – dalam arti luas – juga bertindak selaku producer, melalui Perusahaan Umum DAMRI. Perum DAMRI sebagai badan Usaha Milik Negara (BUMN) mulai beroperasi di Surabaya pada tanggal 20 Juli 1975 dengan modal awal 20 buah bus kota yang diluncurkan sebagai ‘pilot project’. Sebagai suatu BUMN, Perum DAMRI dapat pula dipandang sebagai kepanjangan tangan Pemerintah Pusat. Namun jika dilihat dari sudut pandang kepentingan atau tujuan Pemerintah Kota dalam menyelenggarakan pelayanan transportasi kota, yang menjadi tanggung jawabnya, maka Perum DAMRI dalam hal ini merupakan salah satu provider yang menjadi mitra andalan utamanya karena DAMRI memiliki sumber daya berupa armada bus kota dengan jumlah paling banyak (58 % dari keseluruhan Bus Kota yang beroperasi sampai dengan tahun 2005).

Selain Perum DAMRI, provider layanan bus kota juga meliputi perusahaan otobus swasta. Perusahaan otobus swasta yang turut berpartisipasi dalam penyediaanlayanan angkutan massal bus kota di Surabaya kurang lebih berjumlah 30 perusahaan (jumlah ini cenderung berubah-ubah tiap tahunnya). Kedua jenis provider ini pada beberapa hal memiliki perbedaan latar belakang yang secara langsung maupun tidak berimplikasi pada perbedaan orientasi pelayanan. Perum DAMRI sebagai suatu BUMN yang bergerak di bidang jasa angkutan tentu memiliki perbedaan dengan perusahaan otobus yang sepenuhnya murni milik swasta. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Sebagai BUMN, Perum DAMRI masih memperoleh dukungan atau subsidi dari pemerintah Pusat dalam permodalan sehingga resiko kerugian tidak seberat resiko yang harus ditanggtung oleh perusahaan swasta

2. Oleh karena Perum DAMRI adalah BUMN maka memiliki legitimasi yang lebih kuat dibanding perusahaan swasta untuk menjadi service provider angkutan umum (terbukti dengan dikuasainya trayek-trayek utama dan jumlah armada yang mayoritas sedangkan perusahaan otobusswasta hanya mendapat alokasi trayek-trayek pendukung );

3. Manajemen sumberdaya manusia yang berlaku antara Perum DAMRI dengan persahaan swasta berbeda dimana pada Perum DAMRI seluruh pegawainya adalah pegawai negeri dengan tingkat kesejahteraan yang relatif mapan (stabil) sedangkan kesejahteraan pegawai pada perusahaan swasta sangat tergantung pada provitabilitas usahanya.

Kehadiran Perusahaan Otobus swasta ini dipicu dengan semakin pesatnya perkembangan penduduk kota Surabaya, dimana kebutuhan sarana transportasi kota tidak hanya cukup disediakan oleh Perum DAMRI dan jenis-jenis angkutan kota lainnya. Oleh karenanya pada tahun 1985, Dinas Perhubungan Kota Surabaya, dengan otoritas formalnya, mewajibkan perusahaan Bus Swasta yang masuk ke kota Surabaya agar memberikan armadanya untuk digunakan sebagai bus kota. Dalam hal ini misi sosial lebih dikedepankan demi penyediaan layanan angkutan kota yang efisien dan terjangkau.

Dengan demikian, dalam konteks demand and supply sebenarnya pihakswastalah yang lebih dibutuhkan dan pihak pemerintah kota berada pada posisi yang membutuhkan. Layaknya prinsip resource dependency, kedudukan perusahaan swasta mestinya lebih tinggi karena mereka memiliki sumber daya yang tidak dimiliki oleh pemerintah kota. Menurut teori resource dependency tersebut pihak yang menguasai sumberdaya akan lebih menentukan (dominan) kedudukannya dalam policy process. Namun prinsip tersebut ternyata tidak berlaku dalam konteks hubungan kekuasaan antara pemerintah dengan pihak swasta dalam penyelenggaraan pelayanan transportasi perkotaan khususnya bus kota di Surabaya.

Kedudukan pemerintah selaku pemegang otoritas formal masih memiliki kekuatan memaksa pihak lain untuk tunduk dan memenuhi keinginannya. Sebagai konsekuensinya, perusahaan otobus swasta ‘terpaksa’ harus memenuhi permintaan pemerintah namun tidak sepenuhnya mengutamakan aspek pelayanan melainkan sekedar memenuhi ‘kepatuhan formal’. Pihak ketiga dalam konsep governance adalah masyarakat. Dalam konteks transportasi perkotaan khususnya pelayanan bus kota di Surabaya, masyarakat pengguna jasa layanan bus kota tidak banyak memiliki sumberdaya yang dapat digunakan untuk memperjuangkan kepentingannya dalam policy process yang berlangsung. Secara normatif, masyarakat dalam hal ini sebenarnya mempunyai sumber daya berupa dukungan politis terhadap pemerintah selaku penanggung jawab pelayanan publik secara umum.

Selain itu, masyarakat pengguna jasa angkutan kota juga mempunyai sumber daya yang berupa daya beli atau minat untuk memilih untuk menggunakan atau tidak menggunakan jasa transportasi bus kota. Layaknya dalam konteks bisnis, pembeli adalah ‘raja’ sehingga pihak provider atau producer jasa harus merespon dan menempatkan pengguna jasa pada posisi “the driver seat”. Jika tidak maka mereka akan ditinggalkan customernya. Namun pola ini tampaknya tidak terjadi dalam konteks pelayanan bus kota di Surabaya. Para pengguna jasa khususnya dan masyarakat pada umumnya, belum dipandang sebagai pihak yang memiliki kekuasaanan patut terlibat secara proporsional dalam policy process.

Sudah menjadi rahasia umum jika kondisi pelayanan publik di Indonesia masih terus dinilai buruk oleh masyarakat penggunanya. Berbagai keluhan dari masyarakat tentang pelayanan publik yang dikelola pemerintah masih sering terdengar. Sesungguhnya pemerintah telah melakukan upaya-upaya perbaikan pelayanan publik melalui berbagai kebijakan dibidang pelayanan publik, namun kualitas pelayanan publik masih terus dinilai buruk oleh masyarakat. Menghadapi situasi tersebut, nampaknya upaya perbaikan dan regulasi kebjikan penyelenggaraan layanan publik masih harus terus dilakukan terutama pada upaya-upaya perbaikan yang bersifat implementatif.

Di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dalam bagian menimbang butir b dinyatakan :

Bahwa membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutanseluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik.

Dalam kaitan tersebut, reformasi birokrasi pemerintahan muncul pertama kali karena adanya keinginan pemerintah untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat seperti yang ditentukan oleh UUD 1945. Peningkatan pelayanan publik (public service) harus mendapatkan perhatian utama dari pemerintah, karena pelayanan publik merupakan hak-hak sosial dasar dari masyarakat (social rihgts) ataupun fundamental rights). Landasan yuridis pelayanan publik atas hak-hak sosial dasar diatur dalam ketentuan Pasal 18 A ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian Undang-Undang Dasar mengatur secara tegas tentang pelayanan publik sebagai wujud hak sosial dasar (the rights to receive). Penolakan atau penyimpangan pelayanan publik adalah bertentangan dengan UUD 1945.

Pelaksanaan public service sebagai hak-hak sosial dasar masyarakat di dalam realita masih banyak hambatan atau penyimpangan. Sering terjadi penyimpangan-penyimpangan dan bahkan kasus-kasus maladministrasi, dan KKN yang bisa berakibat yuridis pada pengenaan sanksi pidana.

Pada umumnya, proses pemberian pelayanan kepada publik (masyarakat) dewasa ini dilakukan melalui kontak langsung antara penyedia jasa layanan (birokrasi pemerintah) dengan warga masyarakat. Ternyata, kontak langsung seperti ini telah banyak dimanfaatkan oleh para pelaku interaksi pelayanan baik itu dari pihak birokrat (pemberi layanan) maupun dari pihak warga masyarakat (penerima layanan) Dari sisi pelayan, beberapa oknum pelayan sengaja mencari keuntungan dari pelayanan yang diberikannya misalnya dengan meminta sejumlah bayaran diluar ketentuan yang berlaku. Dari sisi warga masyarakat, beberapa oknum warga masyarakat yang ingin memperoleh layanan secara mudah dengan cara menyogok atau memberi uang “pelican” terhadap oknum aparat pelayan. Praktek-praktek semacam ini tentunya akan berdampak kepada pengguna jasa layanan lainnya, yang pada akhirnya akan berdampak pula pada kualitas pelayanan secara umum.

Beberapa hasil survei dari lembaga survei internasional menunjukkan bahwa pelayanan publik di Indonesia masih terburuk di Asia dalam hal pelayanan publik. Demikian pula halnya berbagai kajian yang telah dilakukan oleh para pemerhati pelayanan publik, dengan mana hampir semuanya berkesimpulan bahwa pelayanan publik melalui kontak langsung rentan terhadap berbagai praktek maladministrasi, yaitu suatu praktek yang menyimpang dari etika administrasi atau suatu praktek administrasi yang menjauhkan dari pencapaian tujuan administrasi.

Praktek-praktek yang mengakibatkan terjadinya maladministrasi memang dimungkinkan dalam penyediaan layanan melalui kontak langsung. Pelayanan publik melalui kontak langsung akan sulit dihindari adanya perlakuan-perlakuan khusus yang berdampak pada penyimpangan terhadap ketentuan administrasi. Sebagaimana dicontohkan, ketika seorang warga masyarakat yang datang kebetulan adalah keluarga dekat atau orang yang memiliki kedudukan yang penting di daerah itu, maka secara otomatis pelayan publik akan memberikan perlakuan khusus terhadap warga semacam ini, apakah dengan memberikan prioritas untuk dilayani, atau bahkan sampai kepada pengabaian persyaratan yang semestinya harus dipenuhi. Tindakan-tindakan seperti ini tentunya akan berdampak kepada terciptanya pelayanan yang dikriminatif yang dapat memicu rasa ketidakadilan masyarakat.

Pemerintah sebagai penyelenggaran pelayanan publik diharuskan memiliki fungsi katalitis, mampu untuk memberdayakan masyarakat, melakukan upaya-upaya untuk mendorong semangat kompetisi, selalu berorientasi kepada misi, lebih mengutamakan dan mengutamakan hasil daripada cara atau proses, kepentingan masyarakat sebagai acuan utama, berjiwa wirausaha, dan selalu bersikap antisipatif atau berupaya mencegah timbulnya masalah, bersifat desentralistis dan berorientasi pada pasar.

Keadaan secara empirik pelayanan publik seperti yang diungkapkan dimuka menunjukkan kepada kita bahwa focus of interest dari aparatur kita belum tertuju kepada tugas utamanya. Pelayanan publik sebagai tugas utama birokrasi atau aparatur negara masih sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang lebih mengedepankan kekuasaan atau kewenangan. Sistem pemerintahan tidak saja mengabaikan pelayanan kepada masyarakat tetapi juga sistem pemerintahan atau birokrasi yang tidak responsif terhadap apa sesungguhnya dibutuhkan, diperlukan dan dikehendaki oleh masyarakat. Sistem pemerintahan yang lebih mengedepankan political authority daripada political commitment yang salah satunya adalah customer’s oriented atau customer’s perspective atau pelayanan yang berorientasi kepada kepentingan dan kebutuhan masyarakat.

Untuk itu mulai saat ini haruslah kita pergunakan untuk meletakkan dan memantapkan fungsi atau peran birokrasi atau pemerintah sebagai fungsi utamanya yaitu public service atau pelayanan publik. Sedangkan fungsi-fungsi yang selama ini di pegang juga oleh birokrasi atau pemerintah harus diserahkan kepada pihak swasta dan masyarakat. Ini semua sebagai konsekuensi kita beralih dari pemerintahan yang government yang menitik beratkan pada otoritas ke pemerintahan yang governance yang menitik beratkan pada kolaborasi atau kompatibilitas di antara public (pemerintah/birokrasi), private (swasta) dan community (masyarakat), Utomo (2003).

Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, atau pelayanan administratif yang disediakan oleh pemenrintah.

Berbagai pelayanan administratif, seperti pelayanan KTP, akte kelahiran, sertifikasi tanah, dan perizinan, merupakan pelayanan yang diselenggarakan untuk menjamin hak dan kebutuhan dasar warga negara. Pelayanan KTP dan akte kelahiran sangat vital dalam kehidupan warga karena keduanya menjamin keberadaan, identitas warga dan hak-hak sipil lainnya. Pelayanan seperti itu tentu sangat penting dan menjadi bagian dari pelayanan publik yang harus diselenggarakan oleh negara (Dwiyanto, 2010, h.20).

Kota Malang dengan jumlah penduduk sampai tahun 2010 sebesar 892.323 jiwa yang terdiri dari 446.576 jiwa penduduk laki-laki, dan penduduk pe-rempuan sebesar 445.747 jiwa. Kepadatan penduduk kurang lebih 7.420 jiwa per kilometer persegi. Tersebar di 5 Kecamatan (Klojen = 201.954 jiwa, Blimbing = 198.648 jiwa, Kedungkandang = 169.780 jiwa, Sukun = 202.742 jiwa, dan Lowokwaru = 181.854 jiwa). Terdiri dari 57 Kelurahan, 526 unit RW dan 3.935 unit RT. Dengan demikian rasio jenis kelamin penduduk Kota Malang sebesar 99,87. Ini artinya bahwa setiap 100 penduduk perempuan terdapat 99 penduduk laki-laki.

Kebijakan administrasi ke- pendudukan di Kota Malang sudah di canangkan mulai tahun 2007 dengan dilahirkannya Peraturan Daerah Kota Malang No.15 Tahun 2007 dan di perkuat dengan Peraturan Walikota Malang No. 11 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Administrasi Kependudukan di Lingkungan Pemerrintah Kota Malang. Dalam Peraturan Daerah Kota Malang No. 15 Tahun 2007 pada Bab I menyebutkan Administrasi Kependudukan adalah rang-kaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran pendu-duk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi kependudukan serta pendaya-gunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain.

Masalah mendasar dalam admi-nistrasi kependudukan adalah yang berkenaan dengan definisi penduduk yang digunakan. Sampai sekarang di wilayah Kota Malang, yang juga berlaku di wilayah lain di Indonesia, Pemerintah Daerah menganggap yang perlu didaftar hanyalah penduduk resmi saja, yang berarti menggunakan konsep de jure. Padahal dalam Undang-Undang RI No. 23 tahun 2006 ditegaskan bahwa pelaksanaan pendaftaran penduduk didasarkan pada azas domisili atau tempat tinggal (de facto).

Dari hal yang di uraikan di atas dapat disimpulkan masih banyak terjadi permasalahan memberikan pelayanan ke-pada masyarakat, misalnya pelayanan yang diberikan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kurang efektif dan efisien seperti apa yang diharapkan oleh masyarakat, kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat baik dari masyarakat penduduk lokal atau pun yang pendatang tentang tata cara prosedur untuk pembuatan dokumen identitas diri. Hal ini menarik perhatian peneliti untuk meneliti lebih lanjut mengenai “Implementasi Kebijakan Pe-layanan Administrasi Kependudukan Terpadu (Studi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Malang)”

Tujuan penelitian ini yaitu: (1) Untuk menganalisis implementasi kebi-jakan pelayanan administrasi kepen-dudukan terpadu di Dinas Kependu-dukan dan Catatan Sipil Kota Malang, (2) Untuk menganalisis faktor pendukung dan faktor penghambat pada pelayanan administrasi kependudukan terpadu oleh Dinas Ke-pendudukan dan Catatan Sipil Kota Malang.

Dye dalam Syafi’ie (2006, h.105) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “whatever government choose to do or not to do” yang dalam bahasa Indonesia berarti apapun juga yang dipilih pemerintah, bai mengerjakan sesuatu ataupun tidak mengerjakan (mendiamkan) sesuatu.

Sedangkan Carl Frederic dalam Agustino (2008, h.7) menjelaskan bahwa kebijakan adalah serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu di mana terdapat beberapa hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan kemungkinan (kesem-patan-kesempatan) di mana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Ada juga pendapat RC Chandler dan JC Plano dalam Syafi’ie (2006, h.105) yang mengatakan bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah publik.

Implementasi kebijakan merupakan aspek terpenting dari keseluruhan proses kebijakan. Implementasi kebijakan meru-pakan wujud nyata dari suatu kebijakan, karena pada tahap ini suatu kebijakan tidak

hanya terbatas pada perwujudan secara riil dari kebijakan, tapi juga mempunyai kaitan dengan konsekuensi atau dampak yang akan mengarah pada pelaksanaan kebijakan tersebut. Dengan demikian pembuat kebijakan tidak hanya ingin melihat kebijakan yang telah dilaksanakan oleh masyarakat, namun juga ingin melihat seberapa jauh kebijakan tersebut dapat memberikan konsekuensi mulai dari hal yang positif maupun negatif kepada masyarakat.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pem-bentukan dan Struktur Organisasi Pemerin-tah Kota Malang, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil merupakan pelaksana Oto-nomi Daerah di bidang kependudukan dan catatan sipil serta transmigrasi. Dinas Ke-pendudukan dan Pencatatan Sipil dipimpin oleh Kepala Dinas yang dalam melaksana-kan tugas berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah, sedangkan Sekretariat dipimpin oleh Sekretaris dan Bidang dipimpin oleh Kepala Bidang yang dalam melaksanakan tugas pokok fungsinya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas. Jumlah semua daftar PNS dan CPNS Dinas Kependudukan Kota Malang berjumlah 65.

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Malang memiliki Visi “Terwu-judnya pusat database kependudukan yang akurat dan aktual berbasis Sistem Informasi Administrasi Kependudukan”. Visi ini me-rupakan proyeksi gambaran di masa depan dengan segala dimensinya berdasarkan data realitas sekarang berbagai kecenderungan.

Sedangkan misi yang ditetapkan adalah meningkatkan profesionalitas, efisi-ensi, dan evektivitas organisasi, mengop-timalkan dan meningkatkan Administrasi Kependudukan, memberikan perlindungan hukum identitas penduduk secara administratif, meningkatkan kualitas kinerja pelayanan pendaftaran penduduk dan pen-catatan sipil secara prima, memanfaatkan database kependudukan untuk perencanaan pembangunan dan meningkatkan admi-nistrasi pendaftaran penduduk dan pen-catatan sipil.

Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan. Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembanganbirokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Oleh karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain :

a. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan

b. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugastugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat)

c. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni: pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan teta mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu.

d. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu (change of agent ) pembangunan

e. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, flrksibel dan responsive (Agus Suryono, 2005)

Kebijakan publik terdiri dari dua kata yakni kebijakan dan publik. Kata kebijakan merupakan terjemahan dari kata Inggris policy artinya politik, siasat, kebijaksanaan (Wojowasito, 1975 : 60). Dalam pembahasan ini kebijakan dibedakan dengan kebijaksanaan. Menurut M. Irfan Islamy, policy diterjemahkan dengan kebijakan yang berbeda artinya dengan wisdom yang artinya kebijaksanaan. Pengertian kebijaksanaan memerlukan pertimbanganpertimbangan lebih jauh lagi, sedangkan kebijakan mencakup aturan-aturan yang ada didalamnya (Islamy, 1999 : 13). Policy atau kebijakan ini “tertuang dalam dokumen resmi. Bahkan dalam beberapa bentuk peraturan hukum, misalnya di dalam UU, PP, Keppres, Peraturan Menteri (Permen), Perda dan lain-lain” (Lubis, 2007 : 5). Dengan demikian, kebijakan (policy) adalah “seperangkat keputusan yang diambil oleh pelaku-pelaku politik dalam rangka memilih tujuan dan bagaimana cara untuk pencapaian tujuan”. Kata publik mempunyai makna atau pengertian yang dapat berbeda dengan pengertian masyarakat. Perbedaan pengertiannya adalah : Masyarakat diartikan sebagai sistem antar hubungan sosial dimana manusia hidup dan tinggal secara bersama-sama. Di dalam masyarakat tersebut terdapat norma-norma atau nilai-nilai tertentu yang mengikat atau membatasi kehidupan anggota-anggotanya. Dilain pihak kata publik diartikan sebagai kumpulan orang-orang yang menaruh perhatian, minat atau kepentingan yang sama. Tidak ada norma atau nilai yang mengikat/ membatasi perilaku publik sebagaimana halnya pada masyarakat karena publik itu sulit dikenali sifat-sifat kepribadiannya (identifikasinya) secara jelas. Satu hal yang menonjol adalah mereka mempunyai perhatian atau minat yang sama (Islamy : 1.6).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PEMBAHASAN

Permasalahan utama pelayanan publik berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek, yaitu bagaimana tata pelaksanaanya, dukungan sumber daya manusia, dan organisasinya.

Dilihat dari penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki beberapa kelemahan yaitu:

a.
Kurangnya respon.

Kondisi ini terjadi hampir semua tingkatan unsur pelayanan publik, mulai pada tingkatan petugas pelayanan sampai dengan tingkatan ketua dari instansi atau organisasi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan.

b.
Kurangnya penyampaian informasi.

Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat malah berjalan lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.

c.
Kurangnya akses.

Berbagai pihak yang terkait dalam pelaksana pelayanan terletak jauh dari masyarakat, sehingga masyarakat merasa sulit jika membutuhkan pelayanan tersebut.

d.
Kurang koordinasi.

Berbagai pihak pelaksana pelayanan yang terkait satu dengan lainnya dirasa kurang dalam berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.

e.
Rendahnya kualitas birokrasi.

Pelayanan pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan dilain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.

 

f.
Kurang mau mendengar aspirasi masyarakat.

Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu

g. Kurangnya efisisensi.

Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.

h.
Dilihat dari sisi sumber daya manusianya.

Kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi,dan etika.

i.
Dilihat dari sisi kelembagaan.

Kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat,adanya peraturan yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan rangkap jabatan, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.

 

Pada era sekarang ini perhatian masyarakat lebih menekankan pada kinerja pemerintah daerah. Masyarakat akan menuntut pelayanan publik yang berkualitas akan semakin menguat. Karena itu, profesianlisme pemerintah sangat ditentukan oleh kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan di atas sehingga mampu menyediakan pelayanan publik yang memuaskan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.Pelayanan publik yang baik akan sangat bergantung pada pihak pihak yang ada didalamnya, seperti para aktor kebijakan yang dipilih oleh legislatif maupun eksekutif.

 

William Dunn menyatakan bahwa aktor-aktor kebijakan terdiri dari para pejabat yang dipilih baik eksekutif maupun legislatif,para pejabat yang diangkat,kelompok-kelompok kepentingan,organisasi – organisasi penelitian dan media massa3.Dari sisi mikro, hal-hal yang dapat diajukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

 

1. Standar Pelayanan.

Standar pelayanan merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapan-harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan, identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan, perumusan visi dan misi pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu mendukung terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga.dihasilkan adalah informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan yang akan ditanganinya.

 

2.
Pengembangan Prosedur Operasi Standar (SOP).

Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan adanya Prosedur Operasi Standar atau Standard Operating Procedures. Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara konsisten. Disamping itu SOP juga bermanfaat dalam hal:

•Jika terjadi hal-hal tertentu, misalkan petugas yang diberi tugas menangani satu proses tertentu berhalangan hadir, maka petugas lain dapat menggantikannya.Oleh karena itu proses pelayanan dapat berjalan terus.

•Untuk memastikan bahwa pelayanan perijinan dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

•Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran terhadap kesalahan prosedur jika terjadi penyimpangan dalam pelayanan.

•Memberikan informasi yang akurat ketika akan dilakukan perubahan-perubahan tertentu dalam prosedur pelayanan.

•Memberikan informasi yang akurat dalam rangka pengendalian pelayanan.

•Memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan yang akan diserahkan kepada petugas tertentu yang akan menangani satu proses pelayanan tertentu.

 

3.
Pengembangan Survey Kepuasan Pelanggan.

Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survey kepuasan pelanggan memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik.

 

 

4.
Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan.

Pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara dapat efektif dan efisien mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan.Dalam hal-hal tertentu, memang terdapat pelayanan publik yang pengelolaannya dapat dilakukan secara khusus untuk menghasilkan kualitas yang baik.Dalam banyak hal pemerintah juga dapat melakukan privatisasi kebijakan.

 

Namun hal yang perlu dan penting dilakukan oleh sebuah pemerintahan dalam hal pelayanan dan kebijakan publik yaitu adanya Evaluasi Kebijakan Publik.Dalam hal ini, evaluasi kebijakan memiliki posisi penting dalam keseluruhan siklus kebijakan;

 

 Pertama, evaluasi memberikan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan.

 Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target kebijakan.

 

Ketiga, evaluasi memberi kontribusi bagi aplikasi metode-metode kebijakan karena berbagai informasi yang didapat tentang tidak memadainya kinerja kebijakan dapat memberi sumbangan pada perumusan ulang masalah kebijakan, (Dunn, 2000: 609-610). Disamping itu, peningkatan kualitas pelayanan publik juga perlu didukung adanya struktur birtokrasi yang jelas dan baik. Birokrasi yang terlalu luas bisa saja menjadi ladang bagi tumbuhnya KKN dalam penyelenggaraan pelayanan.Dan beberapa waktu terakhir ini kita bisa melihat bahwa beberapa kasus KKN dalam birokrasi mulai terkuak keberadaanya.

 

Mengutip pendapat Dwiyanto (2005) ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan good governance di Indonesia, antara lain :

1. Dengan pelayanan publik nilai-nilai yang mencirikan good governance dapat dilakukan secara lebih mudah dan nyata oleh birokrasi pemerintah. Nilai-nilai yang mencirikan praktik good governance seperti efisiensi, transparansi, akuntabilitas dan partisipasi dapat diterjemahkan secara relatif mudah dalam penyelenggaraan pelayanan publik daripada melembagakan nilai-nilai tersebut dalam keseluruhan aspek kegiatan pemerintahan.

2. Pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur governance. Pemerintah, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar memiliki kepentingan dan keterlibatan yang tinggi dalam ranah ini. Pelayanan publik memiliki high stake dan menjadi pertaruhan yang penting bagi ketiga unsur governance tersebut karena baik dan buruknya praktik pelayanan publik sangat berpengaruh kepada ketiganya. Nasib sebuah pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, akan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan mereka dalam mewujudkan pelayanan publik yang baik. Keberhasilan sebuah rezim dan penguasa dalam membangun legitimasi kekuasaan sering dipengaruhi oleh kemampuan mereka dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang baik dan memuaskan warga.Demikian pula dengan membaiknya pelayanan publik juga akan memperkecil biaya birokrasi, yang pada gilirannya dapat memperbaiki kesejahteraan warga pengguna dan efisiensi mekanisme pasar. Dengan demikian, reformasi pelayanan publik akan memperoleh dukungan yang luas.

 

3. Pelayanan publik mampu membangkitkan dukungan dan kepercayaan masyarakat. Pelayanan publik selama ini menjadi ranah dimana Negara yang diwakili oleh pemerintah berintegrasi dengan lembaga-lembaga non pemerintah. Dalam ranah ini terjadi pergumulan yang sangat intensif antara pemerintah dengan warganya. Buruknya praktik governance dalam penyelenggaraan pelayanan publik sangat dirasakan oleh warga dan masyarakat luas. Ini berarti jika terjadi perubahan yang signifikan pada ranah pelayanan publik dengan sendirinya dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh warga dan masyarakat luas. Keberhasilan dalam mewujudkan praktik good governance dalam ranah pelayanan publik mampu membangkitkan dukungan dan kepercayaan dari masyarakat luas bahwa membangun good governance bukan hanya sebuah mitos tetapi dapat menjadi suatu kenyataan.

4. Dengan memperbaiki pelayanan publik toleransi terhadap praktik bad governance diharapkan dapat dihentikan. Hasil Governance and Decentralization Survey 2002 (GDS 2002) menunjukkan bahwa sebagian besar warga menganggap wajar terhadap praktik pungutan liar (pungli) dan justru merasa lega karena proses pelayanan dapat segera selesai, menjadi indikator bahwa warga bangsa menjadi semakin toleran terhadap praktik bad governance. Hal ini tentu tidak saja dapat mendorong warga untuk mengembangkan mekanisme survival dengan adanya praktik bad governance, tetapi juga menghindari upaya untuk membangun good governance. Kalau hal seperti ini terus terjadi dan semakin meluas tentu sangat berbahaya bagi kelangsungan kehidupan bangsa. Dengan menjadikan praktik pelayanan publik sebagai pintu masuk dalam membangun good governance, maka diharapkan toleransi terhadap bad governance yang semakin meluas dapat dihentikan.

5. Dengan memperbaiki pelayanan publik diharapkan adanya keterlibatan dari aktor-aktor di luar Negara dalam merespon masalah-masalah publik.

 

Menurut sebagian pakar (Dye, 1981 ; Anderson, 1984), terdapat sejumlah dampak kebijakan yang perlu diperhatikan di dalam evaluasi kebijakan, yakni :

1. Dampak kebijakan terhadap situasi atau kelompok target. Objek yang dimaksud sebagai sasaran kebijakan harus jelas. Misalnya masyarakat miskin (berdasarkan keriteria tertentu), para pengusaha kecil, kelompok anak-anak sekolah yang termarjinalkan, atau siapa saja yang menjadi sasaran. Efek yang dituju oleh kebijakan juga harus ditentukan. Jika berbagai kombinasi sasaran tersebut dijadikan fokus masa analisisnya menjadi lebih rumit karena prioritas harus diberikan kepada berbagai efek yang dimaksud. Disamping itu, perlu dipahami bahwa kebijakan kemungkinan membawa konsekuensi yang diinginkan atau tidak diinginkan. Faktanya : Implikasi atau dampak kebijakan berbagai program penanggulangan kemiskinan (Program Pengembangan Kecamatan, Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal, CERD, P2KP, Program Pengembangan Prasarana Perdesaan, dan sebagainya) dengan sasaran orang miskin di berbagai wilayah Indonesia, merupakan salah satu bukti nyata. Implikasi kebijakannya terlihat misalnya melalui upaya program tersebut di dalam mengembangkan kegiatan ekonomi produktif, kemudahan akses masyarakat terhadap akses pendanaan-informasi-pasar-jaringan, kemudahan akses terhadap peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan publik, kemudahan terhadap penyediaan hak-hak dasar masyarakat miskin, peningkatan kualitas hidup masyarakat yang dapat dilihat dari penyediaan fasilitas sosial, prasarana da sarana, pendidikan, faktor lingkungan, perwakilan (hak) politik, dan kebutuhan lainnya.

2. Dampak kebijakan terhadap situasi atau kelompok lain selain situasi atau kelompok target. Hal ini disebut efek eksternalitas atau spillover, karena jumlah sejumlah outcome kebijakan publik sangat berarti dipahami dengan istilah eksternalitas. Faktanya : dampak kebijakan penanggulangan kemiskinan melalui beberapa program (Program Pengembangan Kecamatan, Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal, CERD, P2KP, Program Pengembangan Prasarana Perdesaan, dan sebagainya), telah melibatkan secara langsung dan tidak langsung berbagai pihak, termasuk pemerintah, pengusaha, aparat pemerintah daerah, tokoh-tokoh masyarakat, guru, penyuluh kesehatan, konsultan, kontraktor dan sebagainya.

3. Dampak kebijakan terhadap kondisi sekarang dan kondisi masa yang akan datang. Faktanya : Dampak kebijakan penanggulangan kemiskinan melalui beberapa program seperti tersebut diatas, telah menguatkan fondasi ekonomi kerakyatan dan kemandirian masyarakat miskin khususnya dan masyarakat pada umumnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa dampak positif kebijakan tersebut meneguhkan keinginan masyarakat dalam merespon gagasan otonomi daerah yang baru dimulai pelaksanaanya sejak tahun 1999 (Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004).

4. Biaya langsung kebijakan, dalam bentuk sumber dana dan dana yang digunakan dalam program. Faktanya : Berbagai lembaga donor (nasional dan internasional) telah merealisasikan programnya. Hal ini logis dan sejalan dengan beberapa kesepakatan dalam program penanggulangan kemiskinan yang dibiayai oleh berbagai pihak seperti World Bank, UNDP, ADB, JICA, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

5. Biaya tidak langsung kebijakan , yang mencakup kehilangan peluang melakukan kegiatan-kegiatan lainnya. Biaya tersebut sering tidak diperhitungkan dalam melakukan evaluasi kebiajakan publik karena sebagian tidak dapat dikuantifikasi. Faktanya : tidak bisa dipungkiri bahwa program yang dijalankan akan melibatkan berbagai pihak yang dengan keterlibatannya menghalangi melakukan kegiatan lain, misalnya anak dan anggota keluarga dari masyarakat miskin yang dulunya turut membantu kegiatan orang tua, harus berada di bangku sekolah untuk belajar pada jam tertentu. Hal ini berarti kesempatan membantu orang tuanya bekerja menjadi hilang atau berkurang.

6. Tentu saja, juga sulit mengukur manfaat tidak langsung dari kebijakan terhadap komunitas. Faktanya : Hal ini sesungguhnya dapat dilihat dari dampak simbolis kebijakan, misalnya di bidang pendidikan terlihat dari perubahan sikap dan perilaku masyarakat untuk sadar akan arti penting pendidikan atau di bidang kesehatan melalui sikap dan perilaku sehat yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Secara teoritis, dampak kebijakan tidak sama dengan output kebijakan. Karena itu menurut Dye (1981), penting untuk tidak mengukur manfaat dalam bentuk aktivitas pemerintah semata. Hal ini perlu dicermati karena yang seringkali terlihat adalah pengukuran aktivitas pemerintah semata-mengukur output kebijakan. Dalam menjelaskan determinan kebijakan publik, ukuran output kebijakan publik sangat penting untuk diperhatikan. Namun, dalam menilai dampak kebijakan publik, perlu ditemukan identitas perubahan dalam lingkungan yang terkait dengan upaya mengukur aktivitas pemerintah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV.

KESIMPULAN

 

Sampai dengan saat ini, penerapan model demokrasi dalam sistem Pemerintahan Daerah yang sekarang diterapkan belum mencapai hasil yang diharapkan. Perilaku birokrasi dan kinerja Pemerintah Daerah belum dapat mewujudkan keinginan dan pilihan publik untuk memperoleh jasa pelayanan yang memuaskan untuk meningkatkan kesejahteraan.

Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini dapat dilakukan dengan strategi strategi yang dapat membangun sistem pelayanan yang baik untuk mewujudkan kualitas dari kebijakan publik yang baik pula.

Perangkat birokrasi yang ada baru dapat memberikan pelayanan publik yang berkualitas apabila kinerjanya selalu didasarkan pada nilai-nilai etika pelayanan publik. Kualitas pelayanan public yang baik tentu sangat bergantung oleh beberapa aspek, yaitu : sistem, kelembagaan, sumber daya manusia, dan keuangan. Dalam hal ini pemerintah harus benar-benar memenuhi keempat aspek tersebut, karena dengan begitu, masyarakat akan ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.Sehingga akan akan tercipta suatu sistem yang baik sehingga keberlangsungan jalanya pemerintahan melalui kebijakan public dapat berjalan dengan baik pula.

Kegiatan analisis dampak ekonomi internal kebijakan yang salah satunya diseponsori oleh World Bank, yang sedang berlangsung saat ini merupakan bukti nyata dan jawaban atas sikap skeptis tersebut. Karena itu, segala macam efek yang merupakan konsekuensi dari suatu kebijakan, baik simbolis maupun material, terhadap satu atau beberapa kelompok sasaran merupakan esensi yang mencirikan dampak kebijakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Anderson (1984) bahwa evaluasi kebijakan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menilai manfaat kebijakan. Evaluasi kebijakan merupakan kegiatan yang menyangkut estimasi dan penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi, dampak.

 

 

 

 

 

BAB V.

DAFTAR PUSTAKA

  • Kebijakan Publik Dalam Perspektif Teori Siklus Kebijakan http://fia.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/Publika-Tahun-II-Nomor-2-Juli-2011.pdf
  • Beteille, Andre. 1999. Empowerment. Economic and Political Weekly, Vol. 34, No. 10/11 (Maret).
  • Forman, Mark, 2005. E-Government: Using IT to Transform the Effectiveness and Efficiency of Government.
  • Bambang Eka Cahya Widodo. 2005. “Perencanaan Partisipatif dan Perubahan Paradigma Pemerintahan” dalam Alexander Abe, Perencanaan Daerah Partisipatif. Yogyakarta: Penerbit Pembaruan.
  • Abdul Wahab, Solichin, 1998. Reformasi Pelayanan Publik Menuju Sistem Pelayanan yang Responsif dan Berkualitas. Malang: Program Pascasarjana Universitas Brawijaya.
  • Dwiyanto, Agus (Editor). 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
  • Agustino, Leo. (2008) Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung, CV Alfabeta.
  • Effendi Uchjana Oneng 1996, Sistem Imformasi Manajemen, Penerbit Cv. Mandar Maju Bandung.
  • Leemans, A.F. 1970. Changing Patterns of Local Government, International Union of Local Authorities, the Hague, h. 29.
  • Caiden, Gerald E., & Sundaram,P., 2004. The Specificity of Public Service Reform, Journal, Public Administration and Development.
  • Abdul Wahab, Solichin, 2000, Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke lmplementasi Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta.
  • Moenir.2006, Pengertian Pelayanan Publik. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
  • Albraw, Martin, 2007. Birokrasi. Diterjemahkan oleh M.Rusli Karim dan Totok Daryanto. Yogyakarta